10.30.2008

Tionghoa3

Merekonstruksi masa lalu, mungkinkah?
Alkisah, pertama kali menginjak kaki di Bumi Nusantara ini, mereka hanya duta dagang yang rajin berlayar dan bertukar barang dengan wiraniaga lokal. Dipelabuhan tertentu, sembari menunggu datangnya angin menuju kampung halaman, mereka mendirikan gudang, kadang juga tempat ibadah. Lama-kelamaan, justru betah dan mencari rezeki di negeri baru, yang kelak dinamai Indonesia
Mereka ini yang kita sebut sebagai perintis komunitas Tionghoa di Indonesia, sudah bolak-balik ke Nusantara sejak zaman Samudera Pasai, Sriwijaya, atau Majapahit. Tak jarang mereka menularkan sesuatu. Majunya teknik perkapalan Majapahit, konon dirintis para mantan tentara Mongol yang mendarat di Tuban pada abad ke-12. sisa laskar yang

Tionghoa (dialek Hokkien dari kata 中华 [中華], yang berarti Bangsa Tengah; dalam Bahasa Mandarin ejaan Pinyin, kata ini dibaca "zhonghua") merupakan sebutan lain untuk orang-orang dari suku atau ras Tiongkok di Indonesia. Kata ini digunakan untuk menggantikan kata "Cina" yang kini memiliki konotasi negatif karena sering digunakan dalam nada merendahkan. Kata ini juga dapat merujuk kepada orang-orang Tiongkok yang tinggal di luarTiongkok, Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Wacana Tionghoa (zhonghua atau cung hwa) setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Dr. Sun Yat-sen, yang merupakan Bapak Revolusi Tiongkok dengan mendirikan Republik China (中華民國, Zhonghua Minguo) pada tahun 1911, setelah menggulingkan Dinasti Qing. Kemenangan Revolusi Tiongkok ini memberi inspirasi terhadap perjuangan dan kebangkitan nasional di Indonesia. Mao Zedong juga meneruskan penggunaan kata Zhonghua untuk negara Republik Rakyat Tiongkok (中華人民共和國, Zhonghua Renmin Gongheguo) yang diproklamasikan pada tahun 1949. (Wikipedia – red)

dihancurkan Raden Wijaya itu (sebagian besar orang Han) memilih membantu Majapahit, ketimbang balik ke kampung halaman, tetapi berstatus jajahan bangsa Mongol. Berlangsungnya proses osmosis - jauh sebelum kedatangan penjajah – pelan-pelan meleburkan berbagai unsur Cina ke dalam budaya lokal. Mereka juga menyumbangkan banyak hal yang layak dicatat, mulai teknologi sederhana pengilingan tebu hingga bakiak. Mulai makanan eksotis, teknik dan perlengkapan masak, kepercayaan, hingga akulturasi dengan budaya lokal yang memperkaya budaya nasional.
“Kontribusi Tionghoa, mungkin bukan yang terbesar, jika dibandingkan dengan dengan pengaruh Arab atau India. Tapi harus diakui, mereka turut memberi warna dalam perjalanan sejarah bangsa,” urai Prof. Gondomono, Ph.D., pakar antropologi dan sinologi, Guru Besar Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pak Gondo, panggilan akrab Gondomono, mestinya benar. Bukti-buktinya cukup gamblang. Namun, mengapa Denys Lombard, orang Prancis yang kadung cinta pada Indonesia, dalam mahakaryanya Nusa Jawa: Silang Budaya mengaku kesulitan menilai secara berimbang pengaruh Cina di Indonesia? Baik lewat telaah jangka panjang (misalnya sejak zaman Majapahit) maupun jangka pendek (dasawarsa terakhir abad ke-19), konon, lantaran tingkat sensitivitas keberadaan orang Tionghoa di Indonesia mirip tekanan darah, selalu turun-naik.
Lombard berasumsi, ini terjadi lantaran proses pertukaran ekonomi, budaya, dan teknologi yang saling menguntungkan di masa kedatangan pemukiman awal Tionghoa dulu, berubah total di era kolonial. Belanda memperlakukan imigran Cina sebagai bangsa tersendiri, membuat mereka terkucil. Jumlah komunitas Tionghoa di Indonesia memang meningkat tajam di era kolonial. Menjelang tahun 1800, orang Cina di jawa cuma 100.000 orang tetapi di akhir abad ke-19 membengkak menjadi 500.000 orang. Gelombang manusia itu datang demi penghidupan yang lebih baik, menyusul mandeknya pertanian di akhir era Dinasti Qing, yang membawa dampak kelaparan di banyak tempat. Karena mendadak jumlahnya membesar, para imigran itu harus rela diberi upah rendah. Di sisi lain, respon positif masyarakat lokal terus merosot. Realitas yang memperkuat upaya mereka mempertahankan jati diri sebagai etnik pendatang. Pola pikir zaman kolonial itu terlanjur berakar mendalam. Hengkangnya Belanda tak memecahkan masalah. Di tengah eforia kemerdekaan, banyak orang mulai mempertanyakan, mau ke mana etnik Tionghoa? Sama seperti Belanda memperlakukan mereka, masyarakat pun ikut memandang orang Cina sebagai komunitas homogen dengan stereotip tertentu.
Padahal, kelompok etnik atau keturunan Cina (menurut garis patrilineal) sebenarnya sangat heterogen, secara kultural, mereka memang seragam mengebut dirinya bangsa Han, kelompok etnik yang mencakup 90% dari total penduduk RRC (sisanya etnik Manchu, Mongol, Tibet, Uygur, Chuang, Hui, dan lainnya). “Namun, kebudayaannya beragam. Jadi tak mungkin dipukul rata,” bilang Gondomono. Sampai menjelang abad ke-19, para pendatang itu hanya terdiri atas kaum pria. Mereka menikah dengan perempuan setempat hingga melahirkan beberapa generasi. Mereka masih disebut orang Cina, karena mempertahankan sistem patrilinealnya. Kelompok itulah yang kemudian dikenal sebagai Cina peranakan, yang keturunannya lebih banyak menggunakan bahasa lokal ketimbang bahasa Cina. Kecuali beberapa istilah yang berhubungan dengan kekerabatan, keagamaan, dan perdagangan.
Sedangkan imigran setelah abad ke-19 kondisi ekonominya lebih baik. Mereka membawa serta istri dan anak-anak, hingga terbentuklah keluarga yang ayah dan ibunya asli dari daratan Cina. Kelompok ini dikenal sebagai Cina totok, yang kukuh mempertahankan budaya kota atau provinsi asalnya. Tergantung seberapa jauh terjadinya perkawinan campur dengan penduduk lokal.
Dikota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, ada orang-orang Cina yang sangat kaya. Namun, banyak juga yang hidup merana, sama seperti tetangganya di perkampungan kumuh. Tahun 1967, pemerintah menutup sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum dan bahasa pengantar Cina. Beberapa tahun kemudian anak-anak Cina sudah tak bisa lagi berbicara dialek apapun, baik Mandarin, Hokian, Hakka, Kwongfu, Tociu, dan sebagainya.
Maka penggolongan orang Tionghoa berdasarkan kelompok tuturan mestinya tidak berlaku lagi. Begitu juga pembagia atas Cina totok dan peranakan, atau berdasarkan kampung halaman tempat mereka berasal. Bahkan julukan Cina, kata Gondomono, terasa asing buat generasi muda mereka. Seperti kebanyakan orang di negeri ini, mereka juga tak ambil pusing lagi dengan kontribusi leluhurnya di masa lalu. “Leluhur yang mana, Gue ‘kan lahir di Indonesia?” teriak mereka.
Namun kontribusi tetap kontribusi. Mengakui sumbangan-sumbangan itu sebagai potongan sejarah yang turut menentukan perjalanan bangsa, adalah vitamin untuk sedikit menurunkan tensi. Paling tidak, ada kesadaran bahwa sebuah “pertukaran” yang tulus dan saling menguntungkan pernah terjadi, mengilhami terciptanya tatanan budaya, bisnis, dan hubungan sosial yang jauh lebih baik.
INTISARI-(Etnik Tionghoa di Indonesia)

Lebih lanjut ..

Tionghoa2

Tiga tahapan besar
Secara sederhana dapat dikatakan, orang Cina meninggalkan tempat asalnya dalam tiga tahapan besar. Ini tidak termasuk pelarian politik dan pedagang yang sudah lama sekali singgah dikota-kota pelabuhan diberbagai penjuru dunia.
Tahapan pertama terjadi sebelum tahun 1882. Mereka yang pergi merantau dalam periode ini kebanyakan buta huruf, yaitu petani miskin dan kuli-kuli yang bertudung lebar serta berkepang panjang. Lama setelah orang Cina tidak berkepang dan bertudung lagi, mereka masih digambarkan demikian. Karena waktu itu wanita Cina tidak boleh ikut merantau, banyak dari perantau itu menikah dengan wanita setempat.
Tahapan kedua terjadi antara tahun 1882-1943. jumlah imigran tidak sebanyak tahapan pertama. Kebanyakan datang sebagai perorangan, entah untuk berdagang, bersekolah di negara-negara maju seperti AS. Banyak juga diantara mereka orang berada.
Dan terakhir, sejak 1943 banyak wanita dan anak-anak menyusul suami atau orang tua mereka. Kemudian ketika komunis menguasai Cina, para profesional, ilmuwan dan kaum terpelajar berbondong-bondong keluar dari tanah airnya.
Berbeda dengan perantau tahapan ketiga, imigran tahapan pertama dan kedua tidak berniat untuk menetap di perantauan. Mereka semata hanya mengumpulkan harta atau menyelesaikan pendidikan, mereka akan kembali ketanah airnya, untuk kehidupan yang lebih baik, yang mereka pikirkan hanyalah kesejahteraan keluarga mereka di desa yang tertekan oleh kemiskinan, sampai rela membanting tulang siang-malam.
Antara tahun 1876-1901 imigran yang meninggalkan pelabuhan Xiamen (Amoy), Shantou (Swatow), Guangzhou dan Hongkong kebanyakan pergi ke Asia Tenggara. Pada periode yang sama, ada empat juta perantau yang pulang melalui pelabuhan-pelabuhan itu. Antara 1850-1859 ada 65.758 orang Cina yang tiba di Amerika. Pada periode yang sama diketahui ada setengah dari jumlah itu yang kembali ke tanah airnya.
Memang tidak semua perantau berhasil mewujudkan impiannya untuk kembali ke kampung halaman, sebagian meninggal karena kecelakaan atau penyakit, sebagian tewas dibunuh dalam gerakan anti-Cina, sebagian lagi terlalu miskin untuk pulang. Sampai ada pepatah: “Dari sepuluh yang merantau keluar negeri, tiga meninggal di rantau dan hanya seorang yang pulang.”
Karena rindu dengan kampung halaman, mereka sesama perantau bahu-membahu membentuk pecinan atau dikenal Chinatown yang bisa dijumpai dimana-mana di seluruh dunia yang pernah ditinggali orang Cina.

Asimilasi
Ditanah rantau, orang-orang Cina membentuk berbagai organisasi tradisional. Ada perhimpunan orang-orang se-klan, ada huikuan atau organisasi perantau sedaerah asal, ada perkumpulan orang-orang sedialek. Organisasi-organisasi itu menjadi pusat aksi anti-Jepang, ketika Cina diserbu Jepang di abad ke-20.
Setelah 1949, pengikut organisasi tradisioal itu menyusut. Pemerintah Cina tampaknya tidak berminat mengendalikan lagi Cina perantauan. Bahkan sejak awal 1960-an Beijing menganjurkan Cina perantauan untuk berasimilasi dengan masyarakat setempat.
Cina perantauan memiliki banyak tanah luas di Cina Selatan. Tanah itu disita oleh pemerintah komunis dan pemiliknya tidak berani pulang dari rantau, karena kalau pulang mereka akan diadili sebagai tuan tanah. Jadi mereka pun memutuskan untuk menetap saja di negeri asing. Kalau di Cina mereka memiliki anak-istri, maka keluarganya itu diusahakan bisa menyusul ke rantau.

Cina Amerika
Imigran pertama yang masuk ke AS pertengahan abad yang lalu banyak yang tewas di tambang-tambang emas dan jalur kereta api. Merekalah pemasang rel kereta api yang menghubungkan pantai barat dan timur negara besar itu.
Mundurnya organisasi-organisasi tradisional Cina di Amerika ternyata tidak mematikan Chinatown. Walaupun andaikan penduduk Chinatown di San Francisco dan New York City pindah keluar, tempat itu rasanya akan tetap dipertahankan, lengkap dengan restoran, toko, rumah-rumahnya yang eksotik, berikut jalan-jalannya yang sempit. Soalnya setiap tahun jutaan turis kesana membelanjakan dollar mereka.
Saat ini organisasi-organisasi rahasia yang disebut tong masih mengusahakan judi gelap di sana. Sesungguhnya Chinatown tidak selalu merupakan tempat yang aman. Sejak Presiden Amerika Lyndon B Johnson mencabut larangan imigrasi yang didasarkan pada ras dan kewarganegaraan, AS kebanjiran pengungsi Cina lagi. Kebanyakan datang dari Taiwan dan Hongkong. Sebenarnya mereka itu dulu pelarian dari daratan Cina. Kemudian tahun ‘70-an mengalir masuk pengungsi-pengungsi dari Vietnam, Laos, dan Kamboja yang sebetulnya etnik Cina.
Kebanyakan mereka terdiri atas orang-orang muda yang tidak memiliki kemampuan yang diperlukan di Amerika. Tanpa kecakapan berbahasa inggris, mereka tiba dengan harapan yang terlalu muluk. Sering mereka tidak puas bekerja sebagai pelayan restoran atau bekerja di pabrik pakaian. Mereka merasa diperlakukan tidak layak oleh pendatang lama yang sudah mapan, sedangkan pendatang lama menganggap mereka sok ingin cepat kaya. Geng-geng pemuda pun bermunculan dan kejahatan meningkat. Tahun 1970-an terjadi kerusuhan di Chinatown lengkap dengan tembak-menembak.
Para profesional dan orang-orang yang memiliki keterampilan di bidang teknik berbeda nasibnya. Mereka segera bisa menemukan pekerjaan yang memadai di luar Chinatown, lalu bergaul dimasyarakat Amerika yang lebih luas.
Pemimpin masyarakat Cina yang muda-muda tidak terikat pada organisasi tradisional. Kaum intelektual maupun toko bisnisnya tidak lagi tinggal di Chinatown. Kaum terpelajar dan profesional itu mencerahkan citra orang Cina di Amerika yang jumlahnya kira-kira 806.000 jiwa (2,7 juta pada tahun 2000, menurut situs Wikipedia - red). Mereka mengangkat nama Amerika dalam berbagai bidang. Diantaranya Dr. M.C. Chiang, penemu pil antihamil. Yanh Chen-ming dan Lee Tsung Dat, ahli fisika yang memenangkan hadiah Nobel tahun 1957. I.M. Pei, putra bankir yang menjadi arsitek paling terkenal dimancanegara dengan hasil karyanya antara lain: Piramide kaca di Museum Lauvre, Perancis; Kennedy Memorial Library dan National Art Library. An Wang, putra seorang guru dari Shanghai yang kemudian sempat menjadi raja komputer Wang dan salah seorang terkaya di Amerika. Juga penulis dan memikir Li Yutang. Karena Amerika menganut azas ius-soli, maka anak-anak Cina yang lahir di Amerika langsung bisa memperoleh kewarganegaraan AS.

Cina Australia dan Cina Inggris
Di benua kanguru, orang Cina yang semula diburu-buru kini banyak yang menjadi tokoh terkemuka. Salah seorang diantaranya seorang ahli bedah jantung, Dr. Viktor Chang yang pernah terpilih sebagai Australian Man of The Year (pada tahun 1991 toko ini secara tragis menjadi korban pembunuhan – red). Banyak di antara mereka tidak langsung datang dari Cina, tetapi lama tinggal di Hongkong atau Asia Tenggara sebelum menetap di Australia. Di Selandia Baru, penduduk cinanya lebih berasimilasi dari pada di Australia.
Di Inggris, Cina perantauan belum terlalu lama datang dibandingkan dengan di Amerika. Imigran paling awal ialah para kelasi bujangan yang menetap di Liverpool dan London. Mereka menikah dengan penduduk setempat. Mereka yang meninggalkan pekerjaan sebagai kelasi, biasanya menjadi pelayan atau membuka binatu. Namun, tahun ’50-an dan ’60-an. Jumlah pengusaha restoran Cina meningkat dengan cepat. Mereka datang dari Hongkong, Singapura, dan Malaysia. Kini hampir di setiap kota kecil pun di Inggris anda bisa menemukan restoran Cina.

Cina di Asia Tenggara
Dari negara-negara Asia Tenggara, Thailand paling berhasil mengasimilasi ± 3,5 juta penduduk Cina di sana. Kondisi politik dan sosial memungkinkan asimilasi setelah dua atau tiga generasi. Kebudayaan Thai memang tidak terlalu berbeda. Cucu seorang imigran biasanya berganti nama dengan nama Thai, menikah dengan wanita Thai dan menyesuaikan diri dengan norma dan kebudayaan negara tempat tinggalnya. Namun, ini bukan berarti tidak pernah terjadi gerakan anti-Cina dimasa lalu.
Seperti halnya Cina-Singapura, Cina-Malaysia, dan Cina-Indonesia, Cina-Thai umumnya berhasil dalam bidang perdagangan eceran. Kemudian banyak yang menjadi pengusaha kaya, menyaingi perusahaan-perusahaan Eropa. Mereka mendirikan rumah-rumah bagus. Di masa lalu, mereka mempunyai banyak istri dan gundik. Setelah menjadi kaya mereka mengirimkan anak-anaknya ke sekolah yang paling baik.
Di Malaysia asimilasi sulit karena beberapa faktor. Jumlah mereka 32% (data terakhir 23,7% menurut situs The World Factbook – red) dari jumlah penduduk sehingga tidak ada kesulitan mencari pasangan sesama Cina. Selain itu, pernikahan campur sulit terjadi karena masalah agama. Mereka mengirim anak-anak mereka ke sekolah Cina dan memiliki organisasi-organisasi tradisional sendiri.
Kini kaum mudanya mampu berbahasa Melayu karena sekolah-sekolah Cina diharuskan mengajarkan bahasa Melayu, selain juga lebih berorientasi lokal. Di Malaysia ada kelompok Cina yang disebut Baba. Nenek moyang mereka kebanyakan datang di masa kaum wanita Cina belum boleh didatangkan, sehingga sebagian berdarah Melayu. Masakan mereka memakai bumbu setempat, bahasa mereka Melayu yang dibumbui banyak kata hokian. Di masa lalu, kaum wanitanya bersarung kebaya. Mereka mengambil alih sebagian kebiasaan dan tata cara Melayu. Namun, mereka masih hidup terpisah dari masyarakat Melayu. Perantau yang datang kemudian menghindari pernikahan dengan Cina Baba, apalagi dengan kelompok etnik lain.
Di Singapura orang Cina merupakan tiga perempat dari seluruh penduduk (76,8% estimasi 2006 menurut situs The World Factbook – red). Hal ini sudah berlangsung sejak tahun 1901. Orang Cina memang sudah singgah kesana dan Riau sejak abad ke-14. Waktu Raffles datang ke Singapura awal abad ke-19, ia mendapatkan 120 penduduk Melayu dan 30 penduduk Cina. Empat bulan kemudian penduduk pulau itu sudah 5.000 orang, sebagian besar orang Cina. Di Singapura pun ada Cina Baba.
Di Indonesia kini yang kebanyakan hidup di kota-kota merupakan keturunan dari perantau yang datang pada abad ke-19. seperti rekan-rekannya di Nanyang, kebanyakan dari mereka berhasil dalam bidang Ekonomi. Salah seorang yang paling terkenal di awal abad ke-20 adalah Oei Tiong Ham yang merupakan eksportir produk-produk seperti gula dan juga bergerak dalam perdagangan antarpulau.
Penduduk Cina di Indonesia tidak sampai 3,5% dari seluruh penduduk Indonesia. (perkiraan kasar yang dipercaya sampai tahun 2006 adalah 4%-5%. Namun dalam sensus penduduk tahun 2000, hanya 1% yang mengaku mempunyai asal suku Tionghoa-Wikipedia - red). Mereka bisa dibagi dalam dua kategori:
Cina peranakan (yang sudah lama bermukim di Indonesia dan mengambil banyak unsur kebudayaan setempat dan kebanyakan berdarah campuran Indonesia); dan Cina totok (orang-orang Cina yang tetap berpegang teguh pada kebudayaan Cina dan makan makanan tradisional Cina. Mereka biasanya menghindari kawin campur dan lebih banyak bergaul dengan kalangan masyarakat mereka sendiri). Pada tahun 1968, orang-orang Cina warga negara Indonesia mendapat kesempatan untuk mengganti nama mereka dengan Indonesia supaya mempercepat asimilasi. Diperkirakan hampir seperempat juta warga negara Indonesia keturunan Cina mempergunakan kesempatan itu.

INTISARI-(Etnik Tionghoa di Indonesia)

Lebih lanjut ..

Tionghoa1

Etnik Tionghoa di Indonesia
Orang Cina sebenarnya sudah lama sekali mengembara. Sejarah mencatat salah satunya orang yang mengadakan perjalanan ke Asia Tenggara antara tahun 1405 – 1433 adalah seorang admiral bernama Cheng Ho, yang sampai saat ini masih dikenang di Malaysia, singapura, dan Indonesia.
Pada abad ke-16 orang Cina Kanton sudah tiba di Amerika. Mereka mengangkut sutera dan barang dagangan lain ke Filipina, lalu dari Manila mereka menumpang kapal-kapal besar ke Meksiko.
Pada abad ke-17 Belanda memberi peluang kepada orang Cina untuk bertani disekitar Batavia. Walau demikian, dimasa itu jumlah Cina perantauan belum berarti. Pada waktu itu orang Cina menilai dirinya superior. Menurut mereka tidak ada yang bisa dipelajari atau bisa diambil manfaatnya dari luar. jadi mereka menganggap rendah sesama bangsa Cina yang mau hidup diantara orang asing yang mereka anggap barbar. Kalaupun mereka berhubungan dengan orang-orang diluar tapal batas Cina, hubungan itupun terbatas. Ada alasan lain dinasti Qing yang mulai berkuasa pada pertengahan abad ke-17 adalah dinasti asing (Manchu). Mereka khawatir rakyat akan berontak kalau dibiarkan berhubungan dengan orang asing. Jadi rakyat dilarang pergi ke luar negeri.
Tapi mengapa orang Cina berduyun-duyun meninggalkan tanah airnya?
Pertengahan abad ke-19 Cina merupakan negara penuh pergolakan. Dinasti Qing sedang berada dalam periode kebobrokan. Para pejabat pemerintah korup sampai ke akar-akarnya. Tingginya pajak dan cukai. Akibatnya, bandit-bandit bermunculan membuat kejahatan. Sementara itu kekuatan Eropa pun masuk, membawa candu dan barang-barang pabrikan dan memukul perajin lokal. Inflasi membubung, jumlah orang miskin membengkak, yang berbuah pemberontakan, diantaranya pemberontakan Taiping (1850-1865), yang menghancurkan ratusan kota dan propinsi di Cina Tengah dan pemberontakan Boxer (1900).
Walau pemerintah Qing runtuh tahun 1911 dan menjadi Republik Cina dibawah Dr. Sun Yat –sen, kerusuhan tidak berhenti, berbagai masalah datang silih berganti, kepadatan penduduk, pengangguran karena tidak ada lagi lahan yang bisa digarap, banjir besar tahun 1929 lebih dari tiga juta orang tewas, diikuti bencana kelaparan. Tahun 1949 Cina jatuh ke tangan komunis. Maka tidak heran kalau orang Cina yang tercekik bencana, lantas bersedia menyambung nyawa untuk menyeberangi samudera ke negeri asing.
Menjelang akhir abad ke-19, kebetulan orang-orang Barat mulai melakukan ekspansi perdagangan ke Asia. Jepang terbuka bagi mereka. Inggris yang menguasai India, semenajung Malaya, Kalimantan Utara dan Singapura. Belanda yang menguasai Indonesia. Mereka membutuhkan pekerja untuk ditempatkan diperkebunan-perkebunan yang hasilnya laris di Eropa, tetapi juga dipertambangan-pertambangan timah di Malaya, Bangka dan Belitung. Orang Cina disukai karena dianggap pekerja keras dan senang pada uang. Maka tak heran imigran Cina pun mengalir deras ke Asia Tenggara (Nanyang), termasuk juga ke Sumatera, Jawa, Filipina, Myanmar, dan Thailand.

Cina Perantauan
Awalnya mereka hanya menjadi kuli perkebunan, buruh tambang, dan tukang cuci, kemudian banyak yang berhasil menjadi pedagang eceran, bahkan saudagar kaya. Mereka mendatangkan saudara, anak atau keponakan untuk membantu.
Pendatang gelombang pertama ke Nanyang itu kebanyakan berasal dari propinsi Fujian, yaitu orang Hokian. Ketika orang Kanton dari propinsi Guangdong menginsafi kemungkinan untuk menjadi kaya di Nanyang, mereka pun menyusul. Jumlah pendatang dari Kanton itu tidak banyak. Ternyata di Nanyang orang Hokian dengan kaum keluarganya sudah menguasai perniagaan, perdagangan eceran, dan pekerjaan ditambang timah maupun perkebunan. Posisi-posisi yang baik sudah mereka pegang, terpaksa pendatang yang terlambat menjadi buruh dan tukang.
Orang Kanton pun mencari lahan perantauan yang lebih jauh dari Nanyang, yaitu Benua Amerika karena orang Kanton sudah pernah kontak lebih dahulu dengan Barat dibandingkan dengan orang-orang Cina lainnya. Mulai tahun 1840 sampai peralihan abad ke-20 orang Kanton yang merantau ke Barat kebanyakan berasal dari tujuh distrik di delta S. Mutiara.
Sebetulnya bukan cuma orang kanton dan hokian yang pergi merantau. Cina perantauan lain ialah orang Tiociu dari Guangdong Timur, orang Hakka (khe) yang sudah lama mengembara dari Utara ke Selatan Cina dan orang Hainan dari P. Hainan di Selatan. Selain lima besar itu, di Asia Tenggara ada juga perantauan berdialek Foochow (Hokciu), Henghua, Hokchia dan Waijiangren. Mereka ini baru datang pada awal abad ke-20. karena para perantau itu memakai dialek yang berbeda-beda, maka kalau ingin berkomunikasi dengan sesama perantau Cina yang tidak sedaerah asal, harus memakai bahasa mandarin. Untung saja aksara mereka sama, cuma ucapan yang berbeda-beda

Beda dialek dan Usaha
Orang Hokian yang umumnya berasal dari Fujian (daerah Jinmen, Xiamen, Fuzhou, dan Quanzhou) mulanya bertani atau membuat perahu didaerah perantauan mereka di Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina. Lama-kelamaan mereka lebih dikenal sebagai pedagang yang ulet.
Orang Kanton yang berasal dari tujuh distrik di delta S. Mutiara banyak didapati di Hongkong, Vietnam Selatan, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru. Orang Kanton Zhongshan umumnya menetap di Hawai. Sebelumnya berdagang dan membuka restoran, mereka dikenal sebagai tukang dan buruh tambang.

Orang Tiociu datang dari Chaozhou dekat perbatasan Fujian seperti orang Hokian, tadinya mereka bertani dan membuat perahu, tetapi kemudian banyak yang membuka warung.
Orang Hakka seperti halnya orang Kanton, mulai mencari nafkah sebagai tukang dan buruh tambang. Mereka kebanyakan berasal dari enam daerah yaitu Taipu, Huizhou, Fengshun, Meixian, Popo, dan Yongding.
Orang Hainan baru tiba di Nanyang setelah kelompok-kelompok dialek tersebut di atas lama di perantauan, sehingga sudah kehilangan banyak kesempatan ekonomi. Terpaksa mereka puas menjadi pelayan, pramuniaga, dan pelaut. Kadang-kadang seperti orang Foochow, mereka membuka warung kopi
Orang Henghua dan Hokchia menonjol sebagai padagang sepeda dan suku cadang di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sedangkan Waijiangren bergerak diberbagai bidang, mulai dari penjahit, pengrajin kulit sampai penerbit. Karena berasal dari daerah yang berbeda-beda dengan pekerjaan dan dialek yang berbeda pula, dewa yang mereka puja pun tidak sama, Guan Gong (Kwan Kong, Dewa Perang dan Keadilan) serta Da Bo Gong (Toapekong, Dewa Tanah) populer di kalangan orang Hokian, tetapi orang Hainan yang pelaut memuja Dewi Matsu.

INTISARI-(Etnik Tionghoa di Indonesia)

Lebih lanjut ..

8.25.2008

Peringatan HUT Tio Kong Sing Kun

Koran SUMEKS, Monday, 25 August 2008
ILIR BARAT I –Upacara perayaan ulang tahun Tio Kong Sing Kun (Dewa Ular, red) dilaksanakan di Kelenteng Dharma Cemara Sakti, JL Sungai Itam No. 28, Rt. 13. Bukit Besar Palembang, yang dihadiri 14 negara khususnya yang bermarga Cu, kemarin (23/8). Panitia Penyelenggara Abeng, mengatakan, acara ini diadakan setiap tahunnya yang disesuaikan dengan pertanggalan Cina atau bertepatan pada tanggal 23-8-2008. “Yang berhubungan dengan Tio Kong Sing Kun adalah marga Cu. Oleh karena itu yang bermarga Cu dari manca negara datang ke Palembang karena Klenteng Marga Cu di Indonesia hanya ada di Palembang,“ ujarnya saat ditemui koran ini di sela-sela perayaan. Kemarin merupakan ulang tahun Kelenteng Tio Kong Sing Kun yang ke-69 tahun. “Acara ini dihadiri semua marga Cu mulai dari RRC, Hongkong, Filipina, Malayasia, Singapura, Thailand dan masih banyak lagi. Hal ini untuk melakukan persiapan pelaksanaan upacara perayaan ulang tahun Tio Kong Sing Kun di Vihara,“ jelasnya yang sudah 6 tahun menjadi pengurus di Vihara.Ditambahnya, seluruh marga Cu melakukan sembahyang dan makan bersama. Sekitar 1.000 oarng menghadiri upacara perayaan ini yang diisi dengan hiburan band di malam harinya.(mg35)

Lebih lanjut ..

Perayaan HUT "Huat Zhu Kong"


Kemarin, minggu 24 Agustus 2008 puncak acara perayaan HUT Zhang Gong Sheng Jun / Huat Zhu Gong (張公圣君-法主公) berlangsung dengan meriah, seperti biasa perayaannya juga dihadiri tamu dari Marga Chu sedunia, seperti Singapura, Malaysia, China, Taiwan, termasuk pimpinan Marga Chu sedunia Bapak ??????. perayaan ditandai dengan doa bersama

Lebih lanjut ..

7.21.2008

HUT Tio Kong Sing Kun Meriah

Hadir Marga Chu Sedunia
PALEMBANG - Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Tio Kong Sing Kun dan ulang tahun Vihara Dharma Cemara Sakti yang ke-68 benar-benar meriah. Hadir marga Chu perwakilan sejumlah negara. Tio Kong Sing Kun sendiri diyakini sebagai penyelamat umat Buddha dan dikenal sebagai dewa yang welas asih. “Dewa Tio Kong Sing Kun, sangat berperan dalam bidang kesehatan dan keselamatan. Dalam sejarahnya, dewa ini adalah penakluk siluman ular,” ujar Sonny Chu, panitia acara yang juga wakil marga Chu Indonesia di sela-sela acara perayaan HUT Tio Kong Sing Kun di Vihara Dharma Cemara Saksi, kemarin (4/9). Menurut Sonny, Dewa Tio Kong Sing Kun menjadi simbol sifat welas asih. Tanpa pamrih dalam memberikan pertolongan kepada siapa pun. “Perayaan ini diharapkan dapat memberi kedamaian dan keselamatan bagi seluruh manusia. Kita sebagai umat ingin membangkitkan jiwa penolong dari Dewa Tio Kong Sing Kun.” Hadir saat perayaan, marga Chu perwakilan negara di dunia. Antara lain, dari Taiwan, Hong Kong, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Cina. “Acara ini memang diadakan setiap tahun, tetapi tidak semua negara datang sebanyak seperti sekarang,” tuturnya. Warga Tionghoa, Darwis Hidayat yang juga ketua MBI (Masyarakat Buddhayana Indonesia) mengatakan, peringatan HUT Tio Kong Sing Kun sangat penting bagi umat Buddha. Apalagi, Gubernur Sumsel Ir Syahrial Oesman MM hadir langsung. “Tidak bisa dipungkiri, selama ini kita lihat tidak ada konflik yang terjadi antar umat beragama. Dengan figur gubernur sekarang, kerukunan antar umat beragama semakin meningkat. Ini dari kacamata saya. Gubernur sangat bisa menempatkan diri sebagai kepala daerah untuk bisa melayani semua lapisan masyarakat dan agama,” ungkapnya. Hermanto Wijaya, pengusaha Tionghoa juga menyambut baik kedatangan gubernur. “Dengan kehadiran gubernur ke sini, saya pikir akan ada perubahan. Jarang kalau kelenteng ulang tahun wali kota maupun gubernur bahkan camat sekalipun mau hadir. Selama 30 tahun ini, baru Gubernur Syahrial yang mau ke sini,” tegasnya. Kedatangan Gubernur Sumsel dan Ibu Maphilinda Syahrial disambut dengan tarian Barongsai. Juga hadir Mr Chu Siang Nan mewakili marga Chi sedunia dari Malaysia President of World Federatiaon of Chu’s Assosiations. Gubernur sendiri mengatakan, marga Chu merupakan marga yang luas. Apalagi, yang hadir asosiasi magra Chu sedunia. “Acara ini akan menjadi simpul Palembang dimana wisatawan asing datang. Sebanyak 50 orang yang datang ke sini dari penjuru dunia untuk rayakan ulang tahun Dewa Tio Kong Sing Kun. Mudah-mudahan tahun depan kegiatan ini akan menjadi lebih baik lagi dan banyak tamu asing yang datang. Bahkan akan kita jadikan objek wisata keagamaan bagi umat Buddha,” pungkasnya.(19) / www.sumeks.co.id

Lebih lanjut ..

6.09.2008

Sejarah Vihara

Vihara DHARMA CEMARA SAKTI, atau bagi umat tridarma disebut kelenteng CIU PE KING (Cang Ke Kung "樟格宫" dalam bahasa mandarin) telah berdiri kurang lebih 150 tahun, pada awalnya hanya berupa kelenteng kecil berupa gubuk dengan jalan setapak jauh dari jalan raya (+/- 1 km). kelenteng ini sendiri telah mengalami 3 kali pemugaran, pertama pada tahun 1939 baru dibangun dengan bahan baku batu bata oleh seorang dermawan bernama Cu Ciu, yang kedua kali oleh saudara Chu Kim Ho dengan teman-temannya merenovasi kembali kelenteng ini, yang ketiga kalinya oleh saudara Chu Sek Leng sekitar tahun 1991 membangun ulang dan memperluas kelenteng ini sampai seperti tampak foto sekarang dan juga beberapa donatur yang masih aktif memberikan sumbangan hingga kelenteng ini tampak megah. kelenteng ini selain sebagai tempat ibadah umat tridharma tetapi juga tempat kumpul Marga Chu (Hanzi: 朱; Pinyin: Zhū), mayoritas adalah Hokkian (An Hwei/An hui). Marga Chu sendiri sekarang di Palembang adalah generasi ke-18 diurut data dari Tiongkok. Dewa utama kelenteng ini adalah
Huat Zhu Gong (張公圣君-法主公)








Lebih lanjut ..