10.30.2008

Tionghoa2

Tiga tahapan besar
Secara sederhana dapat dikatakan, orang Cina meninggalkan tempat asalnya dalam tiga tahapan besar. Ini tidak termasuk pelarian politik dan pedagang yang sudah lama sekali singgah dikota-kota pelabuhan diberbagai penjuru dunia.
Tahapan pertama terjadi sebelum tahun 1882. Mereka yang pergi merantau dalam periode ini kebanyakan buta huruf, yaitu petani miskin dan kuli-kuli yang bertudung lebar serta berkepang panjang. Lama setelah orang Cina tidak berkepang dan bertudung lagi, mereka masih digambarkan demikian. Karena waktu itu wanita Cina tidak boleh ikut merantau, banyak dari perantau itu menikah dengan wanita setempat.
Tahapan kedua terjadi antara tahun 1882-1943. jumlah imigran tidak sebanyak tahapan pertama. Kebanyakan datang sebagai perorangan, entah untuk berdagang, bersekolah di negara-negara maju seperti AS. Banyak juga diantara mereka orang berada.
Dan terakhir, sejak 1943 banyak wanita dan anak-anak menyusul suami atau orang tua mereka. Kemudian ketika komunis menguasai Cina, para profesional, ilmuwan dan kaum terpelajar berbondong-bondong keluar dari tanah airnya.
Berbeda dengan perantau tahapan ketiga, imigran tahapan pertama dan kedua tidak berniat untuk menetap di perantauan. Mereka semata hanya mengumpulkan harta atau menyelesaikan pendidikan, mereka akan kembali ketanah airnya, untuk kehidupan yang lebih baik, yang mereka pikirkan hanyalah kesejahteraan keluarga mereka di desa yang tertekan oleh kemiskinan, sampai rela membanting tulang siang-malam.
Antara tahun 1876-1901 imigran yang meninggalkan pelabuhan Xiamen (Amoy), Shantou (Swatow), Guangzhou dan Hongkong kebanyakan pergi ke Asia Tenggara. Pada periode yang sama, ada empat juta perantau yang pulang melalui pelabuhan-pelabuhan itu. Antara 1850-1859 ada 65.758 orang Cina yang tiba di Amerika. Pada periode yang sama diketahui ada setengah dari jumlah itu yang kembali ke tanah airnya.
Memang tidak semua perantau berhasil mewujudkan impiannya untuk kembali ke kampung halaman, sebagian meninggal karena kecelakaan atau penyakit, sebagian tewas dibunuh dalam gerakan anti-Cina, sebagian lagi terlalu miskin untuk pulang. Sampai ada pepatah: “Dari sepuluh yang merantau keluar negeri, tiga meninggal di rantau dan hanya seorang yang pulang.”
Karena rindu dengan kampung halaman, mereka sesama perantau bahu-membahu membentuk pecinan atau dikenal Chinatown yang bisa dijumpai dimana-mana di seluruh dunia yang pernah ditinggali orang Cina.

Asimilasi
Ditanah rantau, orang-orang Cina membentuk berbagai organisasi tradisional. Ada perhimpunan orang-orang se-klan, ada huikuan atau organisasi perantau sedaerah asal, ada perkumpulan orang-orang sedialek. Organisasi-organisasi itu menjadi pusat aksi anti-Jepang, ketika Cina diserbu Jepang di abad ke-20.
Setelah 1949, pengikut organisasi tradisioal itu menyusut. Pemerintah Cina tampaknya tidak berminat mengendalikan lagi Cina perantauan. Bahkan sejak awal 1960-an Beijing menganjurkan Cina perantauan untuk berasimilasi dengan masyarakat setempat.
Cina perantauan memiliki banyak tanah luas di Cina Selatan. Tanah itu disita oleh pemerintah komunis dan pemiliknya tidak berani pulang dari rantau, karena kalau pulang mereka akan diadili sebagai tuan tanah. Jadi mereka pun memutuskan untuk menetap saja di negeri asing. Kalau di Cina mereka memiliki anak-istri, maka keluarganya itu diusahakan bisa menyusul ke rantau.

Cina Amerika
Imigran pertama yang masuk ke AS pertengahan abad yang lalu banyak yang tewas di tambang-tambang emas dan jalur kereta api. Merekalah pemasang rel kereta api yang menghubungkan pantai barat dan timur negara besar itu.
Mundurnya organisasi-organisasi tradisional Cina di Amerika ternyata tidak mematikan Chinatown. Walaupun andaikan penduduk Chinatown di San Francisco dan New York City pindah keluar, tempat itu rasanya akan tetap dipertahankan, lengkap dengan restoran, toko, rumah-rumahnya yang eksotik, berikut jalan-jalannya yang sempit. Soalnya setiap tahun jutaan turis kesana membelanjakan dollar mereka.
Saat ini organisasi-organisasi rahasia yang disebut tong masih mengusahakan judi gelap di sana. Sesungguhnya Chinatown tidak selalu merupakan tempat yang aman. Sejak Presiden Amerika Lyndon B Johnson mencabut larangan imigrasi yang didasarkan pada ras dan kewarganegaraan, AS kebanjiran pengungsi Cina lagi. Kebanyakan datang dari Taiwan dan Hongkong. Sebenarnya mereka itu dulu pelarian dari daratan Cina. Kemudian tahun ‘70-an mengalir masuk pengungsi-pengungsi dari Vietnam, Laos, dan Kamboja yang sebetulnya etnik Cina.
Kebanyakan mereka terdiri atas orang-orang muda yang tidak memiliki kemampuan yang diperlukan di Amerika. Tanpa kecakapan berbahasa inggris, mereka tiba dengan harapan yang terlalu muluk. Sering mereka tidak puas bekerja sebagai pelayan restoran atau bekerja di pabrik pakaian. Mereka merasa diperlakukan tidak layak oleh pendatang lama yang sudah mapan, sedangkan pendatang lama menganggap mereka sok ingin cepat kaya. Geng-geng pemuda pun bermunculan dan kejahatan meningkat. Tahun 1970-an terjadi kerusuhan di Chinatown lengkap dengan tembak-menembak.
Para profesional dan orang-orang yang memiliki keterampilan di bidang teknik berbeda nasibnya. Mereka segera bisa menemukan pekerjaan yang memadai di luar Chinatown, lalu bergaul dimasyarakat Amerika yang lebih luas.
Pemimpin masyarakat Cina yang muda-muda tidak terikat pada organisasi tradisional. Kaum intelektual maupun toko bisnisnya tidak lagi tinggal di Chinatown. Kaum terpelajar dan profesional itu mencerahkan citra orang Cina di Amerika yang jumlahnya kira-kira 806.000 jiwa (2,7 juta pada tahun 2000, menurut situs Wikipedia - red). Mereka mengangkat nama Amerika dalam berbagai bidang. Diantaranya Dr. M.C. Chiang, penemu pil antihamil. Yanh Chen-ming dan Lee Tsung Dat, ahli fisika yang memenangkan hadiah Nobel tahun 1957. I.M. Pei, putra bankir yang menjadi arsitek paling terkenal dimancanegara dengan hasil karyanya antara lain: Piramide kaca di Museum Lauvre, Perancis; Kennedy Memorial Library dan National Art Library. An Wang, putra seorang guru dari Shanghai yang kemudian sempat menjadi raja komputer Wang dan salah seorang terkaya di Amerika. Juga penulis dan memikir Li Yutang. Karena Amerika menganut azas ius-soli, maka anak-anak Cina yang lahir di Amerika langsung bisa memperoleh kewarganegaraan AS.

Cina Australia dan Cina Inggris
Di benua kanguru, orang Cina yang semula diburu-buru kini banyak yang menjadi tokoh terkemuka. Salah seorang diantaranya seorang ahli bedah jantung, Dr. Viktor Chang yang pernah terpilih sebagai Australian Man of The Year (pada tahun 1991 toko ini secara tragis menjadi korban pembunuhan – red). Banyak di antara mereka tidak langsung datang dari Cina, tetapi lama tinggal di Hongkong atau Asia Tenggara sebelum menetap di Australia. Di Selandia Baru, penduduk cinanya lebih berasimilasi dari pada di Australia.
Di Inggris, Cina perantauan belum terlalu lama datang dibandingkan dengan di Amerika. Imigran paling awal ialah para kelasi bujangan yang menetap di Liverpool dan London. Mereka menikah dengan penduduk setempat. Mereka yang meninggalkan pekerjaan sebagai kelasi, biasanya menjadi pelayan atau membuka binatu. Namun, tahun ’50-an dan ’60-an. Jumlah pengusaha restoran Cina meningkat dengan cepat. Mereka datang dari Hongkong, Singapura, dan Malaysia. Kini hampir di setiap kota kecil pun di Inggris anda bisa menemukan restoran Cina.

Cina di Asia Tenggara
Dari negara-negara Asia Tenggara, Thailand paling berhasil mengasimilasi ± 3,5 juta penduduk Cina di sana. Kondisi politik dan sosial memungkinkan asimilasi setelah dua atau tiga generasi. Kebudayaan Thai memang tidak terlalu berbeda. Cucu seorang imigran biasanya berganti nama dengan nama Thai, menikah dengan wanita Thai dan menyesuaikan diri dengan norma dan kebudayaan negara tempat tinggalnya. Namun, ini bukan berarti tidak pernah terjadi gerakan anti-Cina dimasa lalu.
Seperti halnya Cina-Singapura, Cina-Malaysia, dan Cina-Indonesia, Cina-Thai umumnya berhasil dalam bidang perdagangan eceran. Kemudian banyak yang menjadi pengusaha kaya, menyaingi perusahaan-perusahaan Eropa. Mereka mendirikan rumah-rumah bagus. Di masa lalu, mereka mempunyai banyak istri dan gundik. Setelah menjadi kaya mereka mengirimkan anak-anaknya ke sekolah yang paling baik.
Di Malaysia asimilasi sulit karena beberapa faktor. Jumlah mereka 32% (data terakhir 23,7% menurut situs The World Factbook – red) dari jumlah penduduk sehingga tidak ada kesulitan mencari pasangan sesama Cina. Selain itu, pernikahan campur sulit terjadi karena masalah agama. Mereka mengirim anak-anak mereka ke sekolah Cina dan memiliki organisasi-organisasi tradisional sendiri.
Kini kaum mudanya mampu berbahasa Melayu karena sekolah-sekolah Cina diharuskan mengajarkan bahasa Melayu, selain juga lebih berorientasi lokal. Di Malaysia ada kelompok Cina yang disebut Baba. Nenek moyang mereka kebanyakan datang di masa kaum wanita Cina belum boleh didatangkan, sehingga sebagian berdarah Melayu. Masakan mereka memakai bumbu setempat, bahasa mereka Melayu yang dibumbui banyak kata hokian. Di masa lalu, kaum wanitanya bersarung kebaya. Mereka mengambil alih sebagian kebiasaan dan tata cara Melayu. Namun, mereka masih hidup terpisah dari masyarakat Melayu. Perantau yang datang kemudian menghindari pernikahan dengan Cina Baba, apalagi dengan kelompok etnik lain.
Di Singapura orang Cina merupakan tiga perempat dari seluruh penduduk (76,8% estimasi 2006 menurut situs The World Factbook – red). Hal ini sudah berlangsung sejak tahun 1901. Orang Cina memang sudah singgah kesana dan Riau sejak abad ke-14. Waktu Raffles datang ke Singapura awal abad ke-19, ia mendapatkan 120 penduduk Melayu dan 30 penduduk Cina. Empat bulan kemudian penduduk pulau itu sudah 5.000 orang, sebagian besar orang Cina. Di Singapura pun ada Cina Baba.
Di Indonesia kini yang kebanyakan hidup di kota-kota merupakan keturunan dari perantau yang datang pada abad ke-19. seperti rekan-rekannya di Nanyang, kebanyakan dari mereka berhasil dalam bidang Ekonomi. Salah seorang yang paling terkenal di awal abad ke-20 adalah Oei Tiong Ham yang merupakan eksportir produk-produk seperti gula dan juga bergerak dalam perdagangan antarpulau.
Penduduk Cina di Indonesia tidak sampai 3,5% dari seluruh penduduk Indonesia. (perkiraan kasar yang dipercaya sampai tahun 2006 adalah 4%-5%. Namun dalam sensus penduduk tahun 2000, hanya 1% yang mengaku mempunyai asal suku Tionghoa-Wikipedia - red). Mereka bisa dibagi dalam dua kategori:
Cina peranakan (yang sudah lama bermukim di Indonesia dan mengambil banyak unsur kebudayaan setempat dan kebanyakan berdarah campuran Indonesia); dan Cina totok (orang-orang Cina yang tetap berpegang teguh pada kebudayaan Cina dan makan makanan tradisional Cina. Mereka biasanya menghindari kawin campur dan lebih banyak bergaul dengan kalangan masyarakat mereka sendiri). Pada tahun 1968, orang-orang Cina warga negara Indonesia mendapat kesempatan untuk mengganti nama mereka dengan Indonesia supaya mempercepat asimilasi. Diperkirakan hampir seperempat juta warga negara Indonesia keturunan Cina mempergunakan kesempatan itu.

INTISARI-(Etnik Tionghoa di Indonesia)

Tidak ada komentar: