10.30.2008

Tionghoa1

Etnik Tionghoa di Indonesia
Orang Cina sebenarnya sudah lama sekali mengembara. Sejarah mencatat salah satunya orang yang mengadakan perjalanan ke Asia Tenggara antara tahun 1405 – 1433 adalah seorang admiral bernama Cheng Ho, yang sampai saat ini masih dikenang di Malaysia, singapura, dan Indonesia.
Pada abad ke-16 orang Cina Kanton sudah tiba di Amerika. Mereka mengangkut sutera dan barang dagangan lain ke Filipina, lalu dari Manila mereka menumpang kapal-kapal besar ke Meksiko.
Pada abad ke-17 Belanda memberi peluang kepada orang Cina untuk bertani disekitar Batavia. Walau demikian, dimasa itu jumlah Cina perantauan belum berarti. Pada waktu itu orang Cina menilai dirinya superior. Menurut mereka tidak ada yang bisa dipelajari atau bisa diambil manfaatnya dari luar. jadi mereka menganggap rendah sesama bangsa Cina yang mau hidup diantara orang asing yang mereka anggap barbar. Kalaupun mereka berhubungan dengan orang-orang diluar tapal batas Cina, hubungan itupun terbatas. Ada alasan lain dinasti Qing yang mulai berkuasa pada pertengahan abad ke-17 adalah dinasti asing (Manchu). Mereka khawatir rakyat akan berontak kalau dibiarkan berhubungan dengan orang asing. Jadi rakyat dilarang pergi ke luar negeri.
Tapi mengapa orang Cina berduyun-duyun meninggalkan tanah airnya?
Pertengahan abad ke-19 Cina merupakan negara penuh pergolakan. Dinasti Qing sedang berada dalam periode kebobrokan. Para pejabat pemerintah korup sampai ke akar-akarnya. Tingginya pajak dan cukai. Akibatnya, bandit-bandit bermunculan membuat kejahatan. Sementara itu kekuatan Eropa pun masuk, membawa candu dan barang-barang pabrikan dan memukul perajin lokal. Inflasi membubung, jumlah orang miskin membengkak, yang berbuah pemberontakan, diantaranya pemberontakan Taiping (1850-1865), yang menghancurkan ratusan kota dan propinsi di Cina Tengah dan pemberontakan Boxer (1900).
Walau pemerintah Qing runtuh tahun 1911 dan menjadi Republik Cina dibawah Dr. Sun Yat –sen, kerusuhan tidak berhenti, berbagai masalah datang silih berganti, kepadatan penduduk, pengangguran karena tidak ada lagi lahan yang bisa digarap, banjir besar tahun 1929 lebih dari tiga juta orang tewas, diikuti bencana kelaparan. Tahun 1949 Cina jatuh ke tangan komunis. Maka tidak heran kalau orang Cina yang tercekik bencana, lantas bersedia menyambung nyawa untuk menyeberangi samudera ke negeri asing.
Menjelang akhir abad ke-19, kebetulan orang-orang Barat mulai melakukan ekspansi perdagangan ke Asia. Jepang terbuka bagi mereka. Inggris yang menguasai India, semenajung Malaya, Kalimantan Utara dan Singapura. Belanda yang menguasai Indonesia. Mereka membutuhkan pekerja untuk ditempatkan diperkebunan-perkebunan yang hasilnya laris di Eropa, tetapi juga dipertambangan-pertambangan timah di Malaya, Bangka dan Belitung. Orang Cina disukai karena dianggap pekerja keras dan senang pada uang. Maka tak heran imigran Cina pun mengalir deras ke Asia Tenggara (Nanyang), termasuk juga ke Sumatera, Jawa, Filipina, Myanmar, dan Thailand.

Cina Perantauan
Awalnya mereka hanya menjadi kuli perkebunan, buruh tambang, dan tukang cuci, kemudian banyak yang berhasil menjadi pedagang eceran, bahkan saudagar kaya. Mereka mendatangkan saudara, anak atau keponakan untuk membantu.
Pendatang gelombang pertama ke Nanyang itu kebanyakan berasal dari propinsi Fujian, yaitu orang Hokian. Ketika orang Kanton dari propinsi Guangdong menginsafi kemungkinan untuk menjadi kaya di Nanyang, mereka pun menyusul. Jumlah pendatang dari Kanton itu tidak banyak. Ternyata di Nanyang orang Hokian dengan kaum keluarganya sudah menguasai perniagaan, perdagangan eceran, dan pekerjaan ditambang timah maupun perkebunan. Posisi-posisi yang baik sudah mereka pegang, terpaksa pendatang yang terlambat menjadi buruh dan tukang.
Orang Kanton pun mencari lahan perantauan yang lebih jauh dari Nanyang, yaitu Benua Amerika karena orang Kanton sudah pernah kontak lebih dahulu dengan Barat dibandingkan dengan orang-orang Cina lainnya. Mulai tahun 1840 sampai peralihan abad ke-20 orang Kanton yang merantau ke Barat kebanyakan berasal dari tujuh distrik di delta S. Mutiara.
Sebetulnya bukan cuma orang kanton dan hokian yang pergi merantau. Cina perantauan lain ialah orang Tiociu dari Guangdong Timur, orang Hakka (khe) yang sudah lama mengembara dari Utara ke Selatan Cina dan orang Hainan dari P. Hainan di Selatan. Selain lima besar itu, di Asia Tenggara ada juga perantauan berdialek Foochow (Hokciu), Henghua, Hokchia dan Waijiangren. Mereka ini baru datang pada awal abad ke-20. karena para perantau itu memakai dialek yang berbeda-beda, maka kalau ingin berkomunikasi dengan sesama perantau Cina yang tidak sedaerah asal, harus memakai bahasa mandarin. Untung saja aksara mereka sama, cuma ucapan yang berbeda-beda

Beda dialek dan Usaha
Orang Hokian yang umumnya berasal dari Fujian (daerah Jinmen, Xiamen, Fuzhou, dan Quanzhou) mulanya bertani atau membuat perahu didaerah perantauan mereka di Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina. Lama-kelamaan mereka lebih dikenal sebagai pedagang yang ulet.
Orang Kanton yang berasal dari tujuh distrik di delta S. Mutiara banyak didapati di Hongkong, Vietnam Selatan, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru. Orang Kanton Zhongshan umumnya menetap di Hawai. Sebelumnya berdagang dan membuka restoran, mereka dikenal sebagai tukang dan buruh tambang.

Orang Tiociu datang dari Chaozhou dekat perbatasan Fujian seperti orang Hokian, tadinya mereka bertani dan membuat perahu, tetapi kemudian banyak yang membuka warung.
Orang Hakka seperti halnya orang Kanton, mulai mencari nafkah sebagai tukang dan buruh tambang. Mereka kebanyakan berasal dari enam daerah yaitu Taipu, Huizhou, Fengshun, Meixian, Popo, dan Yongding.
Orang Hainan baru tiba di Nanyang setelah kelompok-kelompok dialek tersebut di atas lama di perantauan, sehingga sudah kehilangan banyak kesempatan ekonomi. Terpaksa mereka puas menjadi pelayan, pramuniaga, dan pelaut. Kadang-kadang seperti orang Foochow, mereka membuka warung kopi
Orang Henghua dan Hokchia menonjol sebagai padagang sepeda dan suku cadang di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sedangkan Waijiangren bergerak diberbagai bidang, mulai dari penjahit, pengrajin kulit sampai penerbit. Karena berasal dari daerah yang berbeda-beda dengan pekerjaan dan dialek yang berbeda pula, dewa yang mereka puja pun tidak sama, Guan Gong (Kwan Kong, Dewa Perang dan Keadilan) serta Da Bo Gong (Toapekong, Dewa Tanah) populer di kalangan orang Hokian, tetapi orang Hainan yang pelaut memuja Dewi Matsu.

INTISARI-(Etnik Tionghoa di Indonesia)

Tidak ada komentar: