10.30.2008

Tionghoa3

Merekonstruksi masa lalu, mungkinkah?
Alkisah, pertama kali menginjak kaki di Bumi Nusantara ini, mereka hanya duta dagang yang rajin berlayar dan bertukar barang dengan wiraniaga lokal. Dipelabuhan tertentu, sembari menunggu datangnya angin menuju kampung halaman, mereka mendirikan gudang, kadang juga tempat ibadah. Lama-kelamaan, justru betah dan mencari rezeki di negeri baru, yang kelak dinamai Indonesia
Mereka ini yang kita sebut sebagai perintis komunitas Tionghoa di Indonesia, sudah bolak-balik ke Nusantara sejak zaman Samudera Pasai, Sriwijaya, atau Majapahit. Tak jarang mereka menularkan sesuatu. Majunya teknik perkapalan Majapahit, konon dirintis para mantan tentara Mongol yang mendarat di Tuban pada abad ke-12. sisa laskar yang

Tionghoa (dialek Hokkien dari kata 中华 [中華], yang berarti Bangsa Tengah; dalam Bahasa Mandarin ejaan Pinyin, kata ini dibaca "zhonghua") merupakan sebutan lain untuk orang-orang dari suku atau ras Tiongkok di Indonesia. Kata ini digunakan untuk menggantikan kata "Cina" yang kini memiliki konotasi negatif karena sering digunakan dalam nada merendahkan. Kata ini juga dapat merujuk kepada orang-orang Tiongkok yang tinggal di luarTiongkok, Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Wacana Tionghoa (zhonghua atau cung hwa) setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Dr. Sun Yat-sen, yang merupakan Bapak Revolusi Tiongkok dengan mendirikan Republik China (中華民國, Zhonghua Minguo) pada tahun 1911, setelah menggulingkan Dinasti Qing. Kemenangan Revolusi Tiongkok ini memberi inspirasi terhadap perjuangan dan kebangkitan nasional di Indonesia. Mao Zedong juga meneruskan penggunaan kata Zhonghua untuk negara Republik Rakyat Tiongkok (中華人民共和國, Zhonghua Renmin Gongheguo) yang diproklamasikan pada tahun 1949. (Wikipedia – red)

dihancurkan Raden Wijaya itu (sebagian besar orang Han) memilih membantu Majapahit, ketimbang balik ke kampung halaman, tetapi berstatus jajahan bangsa Mongol. Berlangsungnya proses osmosis - jauh sebelum kedatangan penjajah – pelan-pelan meleburkan berbagai unsur Cina ke dalam budaya lokal. Mereka juga menyumbangkan banyak hal yang layak dicatat, mulai teknologi sederhana pengilingan tebu hingga bakiak. Mulai makanan eksotis, teknik dan perlengkapan masak, kepercayaan, hingga akulturasi dengan budaya lokal yang memperkaya budaya nasional.
“Kontribusi Tionghoa, mungkin bukan yang terbesar, jika dibandingkan dengan dengan pengaruh Arab atau India. Tapi harus diakui, mereka turut memberi warna dalam perjalanan sejarah bangsa,” urai Prof. Gondomono, Ph.D., pakar antropologi dan sinologi, Guru Besar Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pak Gondo, panggilan akrab Gondomono, mestinya benar. Bukti-buktinya cukup gamblang. Namun, mengapa Denys Lombard, orang Prancis yang kadung cinta pada Indonesia, dalam mahakaryanya Nusa Jawa: Silang Budaya mengaku kesulitan menilai secara berimbang pengaruh Cina di Indonesia? Baik lewat telaah jangka panjang (misalnya sejak zaman Majapahit) maupun jangka pendek (dasawarsa terakhir abad ke-19), konon, lantaran tingkat sensitivitas keberadaan orang Tionghoa di Indonesia mirip tekanan darah, selalu turun-naik.
Lombard berasumsi, ini terjadi lantaran proses pertukaran ekonomi, budaya, dan teknologi yang saling menguntungkan di masa kedatangan pemukiman awal Tionghoa dulu, berubah total di era kolonial. Belanda memperlakukan imigran Cina sebagai bangsa tersendiri, membuat mereka terkucil. Jumlah komunitas Tionghoa di Indonesia memang meningkat tajam di era kolonial. Menjelang tahun 1800, orang Cina di jawa cuma 100.000 orang tetapi di akhir abad ke-19 membengkak menjadi 500.000 orang. Gelombang manusia itu datang demi penghidupan yang lebih baik, menyusul mandeknya pertanian di akhir era Dinasti Qing, yang membawa dampak kelaparan di banyak tempat. Karena mendadak jumlahnya membesar, para imigran itu harus rela diberi upah rendah. Di sisi lain, respon positif masyarakat lokal terus merosot. Realitas yang memperkuat upaya mereka mempertahankan jati diri sebagai etnik pendatang. Pola pikir zaman kolonial itu terlanjur berakar mendalam. Hengkangnya Belanda tak memecahkan masalah. Di tengah eforia kemerdekaan, banyak orang mulai mempertanyakan, mau ke mana etnik Tionghoa? Sama seperti Belanda memperlakukan mereka, masyarakat pun ikut memandang orang Cina sebagai komunitas homogen dengan stereotip tertentu.
Padahal, kelompok etnik atau keturunan Cina (menurut garis patrilineal) sebenarnya sangat heterogen, secara kultural, mereka memang seragam mengebut dirinya bangsa Han, kelompok etnik yang mencakup 90% dari total penduduk RRC (sisanya etnik Manchu, Mongol, Tibet, Uygur, Chuang, Hui, dan lainnya). “Namun, kebudayaannya beragam. Jadi tak mungkin dipukul rata,” bilang Gondomono. Sampai menjelang abad ke-19, para pendatang itu hanya terdiri atas kaum pria. Mereka menikah dengan perempuan setempat hingga melahirkan beberapa generasi. Mereka masih disebut orang Cina, karena mempertahankan sistem patrilinealnya. Kelompok itulah yang kemudian dikenal sebagai Cina peranakan, yang keturunannya lebih banyak menggunakan bahasa lokal ketimbang bahasa Cina. Kecuali beberapa istilah yang berhubungan dengan kekerabatan, keagamaan, dan perdagangan.
Sedangkan imigran setelah abad ke-19 kondisi ekonominya lebih baik. Mereka membawa serta istri dan anak-anak, hingga terbentuklah keluarga yang ayah dan ibunya asli dari daratan Cina. Kelompok ini dikenal sebagai Cina totok, yang kukuh mempertahankan budaya kota atau provinsi asalnya. Tergantung seberapa jauh terjadinya perkawinan campur dengan penduduk lokal.
Dikota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, ada orang-orang Cina yang sangat kaya. Namun, banyak juga yang hidup merana, sama seperti tetangganya di perkampungan kumuh. Tahun 1967, pemerintah menutup sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum dan bahasa pengantar Cina. Beberapa tahun kemudian anak-anak Cina sudah tak bisa lagi berbicara dialek apapun, baik Mandarin, Hokian, Hakka, Kwongfu, Tociu, dan sebagainya.
Maka penggolongan orang Tionghoa berdasarkan kelompok tuturan mestinya tidak berlaku lagi. Begitu juga pembagia atas Cina totok dan peranakan, atau berdasarkan kampung halaman tempat mereka berasal. Bahkan julukan Cina, kata Gondomono, terasa asing buat generasi muda mereka. Seperti kebanyakan orang di negeri ini, mereka juga tak ambil pusing lagi dengan kontribusi leluhurnya di masa lalu. “Leluhur yang mana, Gue ‘kan lahir di Indonesia?” teriak mereka.
Namun kontribusi tetap kontribusi. Mengakui sumbangan-sumbangan itu sebagai potongan sejarah yang turut menentukan perjalanan bangsa, adalah vitamin untuk sedikit menurunkan tensi. Paling tidak, ada kesadaran bahwa sebuah “pertukaran” yang tulus dan saling menguntungkan pernah terjadi, mengilhami terciptanya tatanan budaya, bisnis, dan hubungan sosial yang jauh lebih baik.
INTISARI-(Etnik Tionghoa di Indonesia)

Lebih lanjut ..